20 Juni 2024 | Tim Bank Mega Syariah
Sertifikat HGB adalah dokumen legalitas yang sering terdengar saat Anda akan membeli rumah hunian, rumah susun atau apartemen.
HGB sendiri merupakan kepanjangan dari Hak Guna Bangunan yang menawarkan berbagai kelebihan, terutama dalam hal biaya awal yang lebih rendah dan fleksibilitas penggunaan tanah. Sayangnya, hak tersebut memiliki jangka waktu tertentu.
Apabila Anda ingin memiliki hak penuh atas tanah, maka sebaiknya mengubah HGB menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM), yang merupakan jenis hak atas tanah yang paling kuat dan penuh di Indonesia.
Lantas, bagaimana cara mengubahnya? Artikel ini akan membahas apa itu HGB serta bagaimana cara mengubah HGB SHM. Yuk, simak penjelasannya berikut ini!
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah salah satu jenis hak atas tanah yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, biasanya untuk jangka waktu tertentu.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian HGB menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 35 ayat 1. Dalam peraturan tersebut dijelaskan HGB adalah hak mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah tetapi bukan milik sendiri.
Pemegang HGB akan menerima sertifikat HGB sebagai bukti resmi kepemilikan hak guna bangunan. Sertifikat ini diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mencantumkan informasi mengenai tanah, bangunan, dan pemegang hak.
Dalam aturan tersebut telah jelas maknanya bahwa bangunan yang Anda miliki dengan sertifikat HGB itu tidak bisa mengklaim kepemilikan atas lahan atau tanah.
Namun, Anda hanya memiliki izin untuk mendirikan dan memiliki bangunan yang dibangun di atas lahan tersebut. Kepemilikan tanah masih menjadi hak negara atau developer yang membangun bangunan.
HGB memberikan hak kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri khas dari Hak Guna Bangunan:
Sertifikat Hak Guna Bangunan memiliki kadaluarsa masa berlakunya. Masa berlaku HGB selama 30 tahun. Pemegang sertifikat HGB dapat memperpanjang sertifikatnya sampai kepemilikan 20 tahun dan 30 tahun.
Kebijakan masa berlaku HGB tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.
HGB dapat dimiliki oleh warga negara asing dan badan hukum asing yang memiliki izin untuk menjalankan usaha di Indonesia.
Hal tersebut tentu berbeda dengan Sertifikat Hak Milik (SHM). Pasalnya, memiliki properti dengan SHM hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan badan hukum Indonesia.
HGB memberikan hak untuk menggunakan tanah tertentu untuk mendirikan dan memiliki bangunan. Artinya, pemegang HGB dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut dan memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti perumahan, komersial, atau industri.
Tak hanya itu, HGB juga dapat diperjualbelikan, dialihkan, atau dijaminkan sebagai agunan untuk mendapatkan pinjaman. Pemegang HGB memiliki hak untuk menjual atau mengalihkan haknya kepada pihak lain selama masa berlaku HGB.
HGB dapat diperpanjang dan diperbarui sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemegang HGB harus mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan hak guna bangunan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebelum masa berlakunya habis.
Perpanjangan atau pembaruan hak ini biasanya memerlukan pemenuhan persyaratan tertentu dan pembayaran biaya administrasi.
HGB diatur oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, mengawasi, dan memberikan izin terkait dengan penggunaan tanah yang di-HGB-kan.
Pemegang HGB juga wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya yang terkait dengan penggunaan tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Pembayaran pajak ini merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang HGB.
Untuk melegalkan kepemilikan sah atas tanah dan bangunan tersebut, Anda bisa mengubah sertifikat HGB ke SHM.
Sertifikat Hak Milik atau SHM adalah dokumen legalitas yang membuktikan kepemilikan tertinggi atas tanah dan/atau bangunan. Berbeda dengan HGB yang memiliki masa berlaku, masa berlaku SHM selamanya dan tak terbatas.
Karenanya, para konsumen yang membeli rumah hunian biasanya langsung mengubah sertifikat HGB ke SHM.
Memiliki HGB memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
Biaya awal yang lebih rendah dibandingkan dengan SHM. Hal ini membuat HGB menjadi pilihan yang menarik bagi mereka yang ingin memiliki properti dengan modal yang terbatas.
Pemerintah sering memberikan HGB untuk tujuan pengembangan bisnis, sehingga memudahkan perusahaan dalam mendirikan bangunan dan menjalankan operasi bisnisnya.
HGB memberikan fleksibilitas dalam penggunaan tanah untuk berbagai keperluan, baik itu perumahan, komersial, atau industri.
Proses pengurusan HGB relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan pengurusan SHM. Hal ini menjadikan HGB sebagai pilihan yang praktis bagi banyak orang dan perusahaan yang membutuhkan hak atas tanah dalam waktu yang singkat.
HGB dapat diperpanjang setelah jangka waktu tertentu (biasanya 30 tahun) berakhir. Pemegang HGB dapat mengajukan perpanjangan hak guna bangunan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendapatkan jangka waktu tambahan.
Sayangnya, kelemahan sertifikat HGB yang paling utama yaitu masa kepemilikan bangunan yang kurang fleksibel karena tidak bisa dimiliki selamanya.
Pemilik sertifikat ini harus melakukan perpanjangan saat masa berlakunya sudah habis. Masa perpanjangan sertifikat HGB dilakukan menjelang 2 tahun masa berlaku sertifikat habis.
Kemudian pemilik bangunan tidak memiliki hak atas kepemilikan tanah. Artinya Anda tidak bisa mengalihfungsikan lahan atau bangunan tersebut tanpa mendapatkan izin dan persetujuan dari pemilik tanah.
Mengapa disarankan untuk mengubah dokumen legalitas kepemilikan rumah dari Sertifikat HGB ke SHM? Berikut ini perbedaan kedua dokumen legalitas properti tersebut.
Sertifikat Hak Guna Bangunan | Sertifikat Hak Milik |
Masa berlaku sertifikat hanya 30 tahun dan harus diperpanjang | Hak kepemilikan bersifat penuh dan selamanya |
Hak kepemilikan untuk pendirian bangunan saja, bukan kepemilikan tanah | Hak kepemilikan atas tanah dan bangunan |
Kurang tepat bila dijadikan sertifikat kepemilikan hunian permanen | Tepat dijadikan hunian atau investasi properti jangka panjang |
Harga jual properti bersertifikat HGB lebih murah | Harga jual properti bersertifikat SHM lebih mahal |
Risiko Beban Hak Tanggungan bila digunakan untuk waktu yang lama | Bisa dijadikan agunan atau jaminan pembiayaan |
Sementara itu, bila tertarik untuk mengubah dokumen legalitas HGB menjadi SHM, cukup membawa persyaratan yang dibutuhkan ke Kantor ATR/BPN sesuai domisili.
Adapun persyaratan yang dibutuhkan, antara lain:
Sertifikat HGB asli
Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan
Fotokopi KTP
Fotokopi Kartu Keluarga
Surat pernyataan bermaterai atas kepemilikan perumahan lebih dari lima bidang
Surat permohonan tertuju Kepala Kantor Pertanahan sesuai domisili
Formulir permohonan pengajuan perubahan SHGB ke SHM
Setelah menyerahkan seluruh dokumen tersebut ke petugas BPN, Anda akan diminta untuk membayar sejumlah biaya pengubahan dokumen legalitas. Adapun rincian dananya sebagai berikut:
Untuk luas tanah 600 meter persegi, biaya pendaftarannya Rp 50 ribu
BPHTB sebesar 5% dari total transaksi yang telah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Biaya jasa untuk pengukuran tanah
Biaya notaris
Biaya konstatering report
Berbeda dengan perpanjangan Sertifikat HGB. Untuk mengubah SHGB ke SHM waktu prosesnya cukup cepat yakni sekitar 5 hari kerja setelah Anda melunasi pembayaran.
Itulah informasi mengenai Hak Guna Bangunan (HGB( yang harus diketahui. Mengingat pentingnya dokumen satu ini, pastikan Anda memahaminya dengan baik, ya!
Yuk, wujudkan mimpi untuk memiliki rumah melalui Mega Syariah Flexi Home. Dengan fasilitas pembiayaan pemilikan rumah dengan plafon cukup besar hingga Rp5 miliar.
Setiap persyaratan dan prosedur pengajuan KPR ini menerapkan prinsip syariah yang bebas riba, denda, dan biaya penalti.
Semoga informasi ini bermanfaat, ya!
Bagikan Berita