Hiwalah: Pengertian, Syarat, dan Ketentuan dalam Islam
16 November 2024 | Tim Bank Mega Syariah
Hiwalah adalah salah satu bentuk akad dalam Islam yang sering ditemukan dalam transaksi keuangan. Dalam konsep muamalah, hiwalah atau hawalah berkaitan dengan pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain.
Dengan prinsip ini, Islam keadilan dalam pengelolaan utang-piutang. Sebab, utang bisa diselesaikan dengan cara yang baik dan mengurangi risiko perselisihan.
Lantas, seperti apa konsep hiwalah dan apa saja syarat agar bisa terjadi pengalihan utang yang sah menurut syariah? Yuk, simak penjelasan lengkap pada artikel berikut ini!
Apa Itu Hiwalah?
Sederhananya, hiwalah adalah jenis akad pemindahan kewajiban atau pengalihan hak dalam pembayaran utang dari satu pihak ke pihak lain.
Secara bahasa, "hiwalah" berarti "pindah." Dalam pengertian syariat, hiwalah adalah pemindahan hak dari pihak yang berutang (muhil) kepada pihak lain yang menerima kewajiban pembayaran (muhal alaih).
Dengan hiwalah, pihak yang berpiutang tidak perlu menagih langsung kepada yang berutang, melainkan bisa beralih kepada pihak yang telah menerima pemindahan tanggung jawab utang tersebut.
Dasar Hukum Hiwalah dalam Islam
Konsep hiwalah memiliki dasar hukum dalam Alquran, hadits, dan pandangan ulama. Salah satu dasar dari praktik ini adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
Hiwalah adalah salah satu bentuk muamalah yang didasari oleh ajaran Islam untuk menjaga hak dan menghindari perselisihan dalam utang-piutang.
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 282:
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi hak masing-masing dan untuk menghindari perselisihan… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu...."
Ayat ini menjelaskan pentingnya pencatatan dan saksi dalam transaksi utang-piutang, terutama untuk mencegah kesalahpahaman dan perselisihan. Dalam transaksi yang melibatkan penundaan pembayaran seperti hiwalah, pencatatan sangat dianjurkan untuk memperjelas status utang dan hak antara pihak-pihak terkait.
Ketentuan Akad Hiwalah
Agar akad hiwalah dapat berlangsung dengan sah, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi, serta konsekuensi yang menyertainya. Berikut penjelasan lengkap mengenai rukun, syarat, dan konsekuensi dalam transaksi hiwalah.
Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah adalah elemen yang wajib ada dalam akad hiwalah. Apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat dilaksanakan. Berikut adalah rukun-rukun hiwalah:
Muhil: pihak yang memiliki tanggungan utang dan hendak memindahkan tanggung jawab utangnya kepada pihak lain. Muhil harus memenuhi beberapa syarat, yaitu berakal sehat, sudah baligh, dan bersedia melaksanakan akad hiwalah atas kehendak sendiri tanpa paksaan dari pihak mana pun.
Muhal: pihak yang memberikan piutang kepada muhil. Sama seperti muhil, muhal juga harus berakal sehat, sudah baligh, dan harus memberikan persetujuan secara sukarela tanpa tekanan. Muhal juga harus hadir dan mengucapkan ijab qabul sebagai tanda penerimaan akad hiwalah, serta disaksikan oleh pihak-pihak terkait.
Muhal’alaih: pihak yang menerima pemindahan tanggung jawab untuk melunasi utang muhil kepada muhal. Syarat yang harus dipenuhi oleh muhal’alaih adalah berakal sehat, baligh, dan memiliki kemampuan finansial untuk menanggung utang tersebut. Pengucapan ijab qabul oleh muhal’alaih dilakukan dalam majelis akad bersama dengan muhil dan muhal.
Utang yang dipindahkan: berbentuk harta yang nyata dan bernilai, seperti uang atau barang berharga. Utang ini tidak boleh berupa barang setengah jadi atau janji bantuan yang belum terlaksana, karena hukum syariat menetapkan bahwa objek hiwalah harus memiliki nilai nyata dan wujud jelas.
Syarat Hiwalah
Selain rukun-rukun di atas, ada beberapa syarat penting yang perlu dipenuhi untuk melaksanakan akad hiwalah secara sah. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
Pihak-pihak yang terlibat harus menjalani akad tanpa paksaan. Muhil harus rela memindahkan utangnya, muhal harus setuju dengan adanya pemindahan tanggung jawab, dan muhal’alaih harus menerima tanggung jawab tersebut.
Produk utang yang dipindahkan harus memiliki kesetaraan dalam bentuk dan nilainya. Jika utang awal berupa emas, misalnya, maka pelunasan utang oleh muhal’alaih kepada muhal juga harus berbentuk emas atau setara nilainya.
Pihak muhal’alaih harus menyetujui pemindahan tanggung jawab ini dan bersedia melunasi utang tersebut, karena setelah akad hiwalah, utang menjadi tanggung jawabnya.
Menurut mazhab Syafi’i, waktu jatuh tempo utang pada muhil dan pada muhal’alaih harus sama. Jika waktu jatuh temponya berbeda, maka akad hiwalah dianggap tidak sah.
Utang yang dialihkan harus tetap berada dalam jaminan pelunasan agar pihak muhal tetap memiliki hak untuk menagih dari muhal’alaih setelah akad berlangsung.
Masa Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah dapat berakhir apabila terjadi salah satu dari kondisi berikut:
Jika salah satu pihak membatalkan akad hiwalah sebelum akad tersebut resmi berlaku, maka hak dan kewajiban kembali seperti semula. Pihak kedua dapat menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama, dan hak pihak pertama untuk menagih kepada pihak ketiga juga dipulihkan.
Apabila pihak ketiga (muhal’alaih) telah melunasi utang kepada pihak kedua (muhal), maka akad hiwalah secara otomatis berakhir karena kewajiban telah terpenuhi.
Jika pihak kedua (muhal) meninggal dunia dan pihak ketiga (muhal’alaih) merupakan ahli waris yang mewarisi hartanya, maka akad hiwalah berakhir karena tidak ada lagi kewajiban pelunasan antara kedua pihak.
Apabila pihak kedua (muhal) menghibahkan atau menyedekahkan utang yang terlibat dalam akad hiwalah kepada pihak ketiga (muhal’alaih), maka akad hiwalah dianggap selesai.
Apabila pihak kedua (muhal) memutuskan untuk membebaskan pihak ketiga (muhal’alaih) dari kewajiban melunasi utang yang dialihkan, maka akad hiwalah berakhir karena pihak ketiga tidak lagi memiliki kewajiban pelunasan.
Jenis-jenis Hiwalah
Berdasarkan objek dan syarat akadnya, hiwalah terbagi ke dalam beberapa jenis yang memiliki penerapan berbeda.
Berdasarkan Objek Akad
Ditinjau dari objek akad, hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
Hiwalah al-Haq adalah pemindahan hak untuk menagih utang. Dalam akad ini, yang dialihkan adalah hak penagihan utang dari pihak pertama kepada pihak lain. Misalnya, jika seseorang yang berpiutang kepada pihak lain mengalihkan haknya untuk menagih utang kepada pihak ketiga.
Hiwalah ad-Dain adalah pemindahan kewajiban membayar utang. Dalam hal ini, yang dialihkan adalah kewajiban pelunasan utang kepada pihak lain. Misalnya, seseorang yang memiliki utang dapat mengalihkan kewajibannya untuk membayar utang kepada pihak lain yang bersedia melunasinya.
Berdasarkan Jenis Akad
Sementara itu, jika dilihat dari segi akadnya, hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
Hiwalah al-Muqayyadah merupakan pengalihan hak dan kewajiban yang dilakukan dengan ketentuan tertentu. Akad ini dilakukan sebagai pengganti pembayaran utang muhil kepada muhal.
Hiwalah al-Muthlaqah adalah pengalihan utang yang tidak disertai syarat sebagai pengganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua. Dalam hiwalah ini, kewajiban pelunasan utang berpindah tanpa menyebutkan adanya kompensasi.
Itulah informasi mengenai hiwalah yang dapat disampaikan. Hiwalah adalah salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam dalam menyelesaikan masalah utang-piutang. Dengan hiwalah, pengalihan kewajiban utang bisa dilakukan dengan cara yang adil, transparan, dan menguntungkan semua pihak.
Sebagai salah satu cara menyelesaikan utang, yuk mulai atur finansial Anda agar lebih stabil dengan mengubah gaya hidup dan menabung secara rutin.
Produk simpanan dari Bank Mega Syariah akan membantu Anda dalam mengelola keuangan dan mendapatkan keuntungan yang sesuai syariah.
Selain itu, Bank Mega Syariah juga mempunyai berbagai produk investasi, seperti Reksa Dana Syariah, Deposito Berkah Digital, hingga sukuk wakaf, yang dapat Anda manfaatkan untuk mengembangkan dana dengan cara yang berkah dan halal.
Semoga informasi ini bermanfaat!