5 April 2024 | Tim Bank Mega Syariah
Di Indonesia, transaksi yang sama dengan Muqayyad adalah sistem barter alias transaksi jual beli yang mengandalkan alat tukar barang. Jenis transaksi seperti ini menjadi solusi untuk pelaku bisnis ekspor yang tidak menghasilkan valas atau mata uang asing.
Adapun dalam transaksi perbankan syariah, Muqayyadah atau Muqayyad disandingkan dengan istilah Mudharabah. Mari mengenal penerapan akad Muqayyad dalam transaksi perbankan syariah berikut ini.
Muqayyad, dalam konteks ekonomi Islam, adalah sebuah istilah yang merujuk pada praktik jual beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang. Umumnya, muqayyad sering dikenal dengan istilah barter.
Praktik ini menjadi alternatif bagi transaksi ekspor yang tidak menghasilkan mata uang asing (valas). Namun, penting untuk memahami bahwa dalam pelaksanaannya, Muqayyad seringkali diiringi dengan konsep Mudharabah.
Dalam konsep ekonomi syariah dan cara bermuamalah yang benar, istilah Muqayyad identik dengan adanya persyaratan khusus dalam kegiatan ekonomi syariah.
Secara spesifik dalam industri perbankan syariah, Muqayyad disandingkan dengan akad Mudharabah. Dalam buku Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia yang ditulis oleh Bambang Rianto Rustam.
Dalam buku tersebut menuliskan definisi akad Mudharabah Muqayyad adalah perjanjian perbankan di mana nasabah sebagai pemilik dana (shahibul mal) memberikan sejumlah dana kepada bank (mudharib) untuk dikelola dengan persyaratan khusus.
Artinya, akad Mudharabah Muqayyad atau yang biasa disebut juga Mudharabah Muqayyadah memberikan hak kepada bank untuk mengelola dana nasabah dengan syarat tertentu.
Syarat tersebut antara lain melakukan analisis pembiayaan tersebut meliputi aspek personal dalam bentuk analisis karakter. Kemudian melakukan analisis dalam segi usaha yang meliputi kapasitas usaha, masa depan usaha hingga kondisi keuangan.
Dalam buku lain yang ditulis oleh Rozalinda yaitu Fiqh Ekonomi Syariah, menuliskan hal serupa mengenai definisi akad Mudharabah Muqayyadah.
Dalam buku tersebut tertulis bahwa akad ini memberikan keleluasaan pemilik dana untuk memberikan batasan dan syarat kepada pengelola dana. Adapun batasan yang dimaksud mulai dari pengelolaan dana, lokasi, cara dan sektor usaha.
Nantinya, dana yang diterima bank sebagai mudharib akan dikelola dan diberikan informasi lengkap kepada pemilik dana atau shahibul mal atau investor dalam bentuk laporan perubahan investasi terikat sebagai investasi.
Ada beberapa syarat dan rukun supaya transaksi akad Mudharabah Muqayyadah dinilai sah dalam prinsip ekonomi syariah, di antaranya sebagai berikut.
Rukun pertama adalah adanya pelaku minimal dua pihak dalam akad ini. Adapun pihak yang dimaksud yaitu pihak pemilik modal dan pihak pengelola dana atau pengelola usaha.
Kemudian adanya objek dari perjanjian kedua belah pihak. Objek tersebut yang menjadi tujuan atas tindakan yang dilakukan para pihak. Objek yang dimaksud ialah modal atau dana dan kerja.
Sebagai contoh pemilik modal yang memiliki modal dan menyertakan modalnya sebagai objek akad Mudharabah. Sedangkan pengelola modal memberikan kerjanya dalam bentuk tenaga hingga pemikiran untuk mengelola modal tersebut.
Setelah adanya pelaku dan objek perjanjian. Maka selanjutnya dilakukan ijab qabul atau persetujuan para pelaku.
Pemilik dana menyetujui pemberian modal. Sementara bank berkewajiban mengelola modal tersebut berdasarkan prinsip syariah.
Bedanya industri perbankan syariah dengan konvensional terletak pada riba. Bank konvensional mendapatkan keuntungan melalui suku bunga. Suku bunga sendiri erat kaitannya dengan transaksi riba yang diharamkan dalam Islam.
Sedangkan bank syariah menerapkan sistem bagi hasil atau nisbah. Bagi shahibul mal, bagi hasil yang didapatkan karena penyertaan modal kerja. Sedangkan bagi mudharib, bagi hasil yang didapatkan berasal dari kinerja dalam mengelola dana.
Para pihak telah menetapkan dan menyetujui besaran nisbah untuk masing-masing pihak. Apabila terjadi perubahan persentase bagi hasil, maka perubahan tersebut harus diketahui dan disetujui kedua belah pihak.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan akad Mudharabah Muqayyadah menjadi batal. Mengutip dari buku Fiqh Muamalah, lima hal yang membatalkan akad Mudharabah Muqayyadah di antaranya sebagai berikut.
Faktor pertama yang membatalkan akad yaitu adanya pembatalan, larangan berusaha dan pemecatan. Biasanya klausul yang membatalkan, melarang berusaha atau memecat terdapat dalam akad.
Akan tetapi, bila pemilik modal tidak mengetahui bahwa pihak bank membatalkan, maka pemilik modal tetap boleh mengusahakan kembali perjanjian tersebut.
Aqid merupakan para pihak yang melakukan akad. Para Jumhur Ulama berpendapat bahwa bila salah satu aqid, baik dari pihak pemilik modal maupun pengelola modal, meninggal dunia maka akad tersebut batal secara otomatis dan sah.
Sekalipun pihak lain yang berakad belum mengetahui informasi tersebut, tapi akad tetap sah dinyatakan batal.
Namun, pendapat dari Ulama Malikiyah berpendapat cukup berbeda. Di mana bila akad mudharabah tidak batal bila salah satu pihak meninggal dunia. Pemilik modal dapat menyerahkan kepada ahli waris bila meninggal dunia.
Apabila aqid gila, maka pendapat Jumhur Ulama berpendapat bahwa mudharabah batal. Sebab dengan kondisi gila tersebut dapat berdampak pada keahlian kedua belah pihak.
Hal lain yang membatalkan akad Mudharabah yaitu pemilik modal atau shahibul mal telah keluar dari Islam alias murtad.
Kemudian apabila shahibul mal telah terbunuh namun dalam kondisi murtad ataupun bergabung dengan musuh dan hakim telah memutuskan aksi pembelotannya.
Atas alasan tersebut, menurut Imam Abu Hanifah dapat membatalkan akad sebab bila tetap melaksanakannya sama saja mati. Namun, kepemilikan harta dari pemilik modal yang murtad dapat dibagikan kepada ahli warisnya.
Kondisi yang menentukan rusak atau tidaknya nilai modal ada dua. Pertama modal yang dipegang pengusaha jadi rusak sebelum dibelanjakan sehingga membatalkan akad.
Kedua saat modal tersebut diberikan atau dihabiskan orang lain selain tanpa tanggung jawab. Hal yang demikian dapat merusak nilai modal.
Demikianlah definisi, rukun hingga hal yang membatalkan akad Mudharabah Muqayyadah.
Garis besar yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas yaitu, kegiatan perekonomian dan transaksi keuangan yang menerapkan muqayyad perlu memperhatikan syarat dan batasan.
Dalam pembahasan ini, syarat dan batasan yang dimaksud tentu saja berkaitan dengan bagaimana cara bermuamalah menggunakan prinsip syariah yang benar dan tepat.
Salah satu persyaratan krusial untuk perusahaan bank syariah beroperasi di Indonesia adalah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Dewan Pengawas Syariah.
Bank Mega Syariah selaku bank syariah yang terjamin kredibilitasnya telah diawasi oleh lembaga pemerintah tersebut. Selain itu, untuk mengikat antara nasabah dan bank melalui akad untuk masing-masing produk perbankan syariahnya.
Untuk mengetahui rincian informasi produk syariah dari Bank Mega Syariah. Silakan cek langsung di website resmi atau media sosialnya.
Semoga informasi ini bermanfaat, ya!
Bagikan Berita